Bagimana caranya menghitung harga pokok penjualan? Pertanyaan
ini sering saya gunakan untuk test penerimaan calon pegawai di bagian
accounting. Melalui tulisan ini saya ingin share cara mudah menghitung harga pokok penjualan, beserta alurnya, dengan bagan grafis sederhana (agar mudah diingat). Mungkin
tidak applicable untuk segala kondisi, tetapi (mudah-mudahan) bisa
menjadi awal pemahaman yang tentunya masih perlu dilengkapi dengan
panduan-panduan dari buku dan literature.
Siapa Bilang Menghitung Harga Pokok Penjualan Hanya Urusan Cost Accountant?
Kembali
ke pertanyaan yang sering saya ajukan dalam test penerimaan staf
accounting. Jawaban mereka, bervariasi. Tentu saja ada yang benar dan
ada yang salah. Tak sedikit juga jawaban yang membuat saya tersenyum
kecut—prihatin persisnya.
Bagaimana tidak prihatin, suatu ketika, seorang kandidat yang melamar posisi cost accountant tidak tahu caranya menghitung harga pokok penjualan—padahal perhitungan harga pokok penjualan adalah fundamentalnya akuntansi biaya (cost accounting).
Yang lebih memperihatinkan lagi, salah seorang kandidat yang melamar posisi chief accountant dengan penuh percaya diri bertanya:
“Apakah perusahaan bapak menerapkan sistim persediaan periodik?”
Saya jawab, ‘Tidak. Kami menerapkan sistim perpetual”
“Oh. Kalau begitu tidak perlu menghitung HPP, pak. Kan sudah dijurnal saat terjadi penjualan,” dia menyampaikan pandangannya.
Betul. Dalam sistim persediaan perpetual, harga pokok penjualan diakui saat barang laku terjual.
Tetapi saya tidak terlalu yakin jika dia benar-benar memahami konsep
harga pokok penjualan dengan baik. Untuk itu saya meminta dia membuat
satu contoh.
“Misalnya, Pak. Terjadi penjualan barang persediaan maka dijurnal:
[Debit]. Piutang Dagang
[Kredit]. Penjualan
[Kredit]. Penjualan
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi”
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi”
Jurnalnya sudah benar. Lalu saya minta dia mengisikan angka di masing-masing jurnalnya. Dan, dia memasukan angka (saya tidak ingat persisnya), tetapi kurang-lebih sbb:
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 20
[Kredit]. Penjualan = Rp 20
[Kredit]. Penjualan = Rp 20
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 15
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 15
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 15
Saya bertanya lagi, “Mengapa
kalau penjualannya Rp 20 trus HPP-nya jadi Rp 15? Apakah boleh jika
angka 15 itu saya ganti dengan angka 5 atau 1,000,000 atau angka apa
saja yang saya suka?”
Melihat dia cuma diam dan nampak bingung, saya ganti pertanyaanya dengan ekspresi yang lebih tegas, “Saat
anda membuat jurnal transkasi penjualan, dari mana anda tahu harga
pokok penjualan sebesar angka yang anda masukan dalam jurnal?”
“Biasanya sudah ada di system, pak,” dia menjawab dengan jujur.
Mendapat jawaban seperti itu, lalu saya mendesak dia dengan pertanyaan, “Dan, anda PERCAYA dengan angka yang di sistem itu?”
“Kan sudah dihitung oleh cost accountant, pak. Bukan tanggungjawab saya.”
Dari sana saya mengambil kesimpulan bahwa kandidat tidak sungguh-sungguh memahami teknis perhitungan harga pokok penjualan.
Dan dia bukan orang yang tepat untuk berada dalam team saya. Yang
mungkin luput dari pertimbangannya adalah: seorang cost accountant
berada di bawah tanggungjawabnya—sebagai seorang chief accountant.
Lepas dari itu semua, khususnya chief accountant,
harus bisa menjamin akurasi setiap digit angka yang tersaji dalam
laporan keuangan—termasuk harga pokok penjualan yang “muncul di system.”
Nah, jika darimana datangnya (teknis perhitungannya) saja tidak tahu,
bagaimana bisa menjamin angka yang dihasilkan sudah akurat atau belum.
Mengenai angka harga pokok penjualan satuan yang suda ada di sistem (software) akuntansi perusahaan,
TIDAK muncul begitu saja, melainkan melalui perhitungan teknis—entah
itu dilakukan secara manual (lalu diinput ke sistem) atau melalui proses
otomatisasi dengan menggunakan variable-variable data yang dimasukan
saat proses produksi berlangsung.
Pada perushaan-perusahaan yang menerapkan “standard costing”,
perhitungan harga pokok penjualan biasanya diotomatisasi dengan
menggunakan input data yang dimasukan pada saat suatu product (barang)
dirancang di bagian Research and Development. Unit cost (harga pokok
satuan) suatu produk terdiri dari berbagai element cost (yang sudah
distandarisasi) yang kemudian membentuk apa yang disebut dengan ‘Bill of
Materials” (BOM). Bagimanapun juga, tetap melalui alur pehitungan yang
menggunakan konsep dasar harga pokok penjualan.
Yang ingin saya sampaikan (melalui ilustrasi kasus di atas) adalah:
“Mampu menghitung harga pokok penjualan adalah wajib bagi seorang akuntan—terlepas apakah dia seorang cost accountant atau bukan.”
Bahkan seorang auditor—yang nota benanya lebih banyak menggeluti akuntansi keuangan (dibandingkan akuntantansi biaya/akuntansi manajemen)—pun
wajib tahu. Tidak menutup kemungkinan, seorang auditor perlu menguji
akurasi angka-angka yang ada di Laporan Laba Rugi yang pastinya
mengandung harga pokok penjualan.
Melalui tulisan ini saya
ingin share cara mudah menghitung harga pokok penjualan, sekaligus
alurnya. Jika tertarik, silahkan ikuti sampai selesai.
Perhitungan Harga Pokok Penjualan Sederhana
Perhitungan Harga Pokok Penjualan yang paling sederhana adalah sbb:
Saldo Awal Persediaan + Pembelian (atau penambahan persediaan) – Saldo Akhir Persediaan = Harga Pokok Penjualan
Perhitungan sederhana itu bisa diterapkan pada jenis perusahaan dagang yang jenis persediaannya hanya berupa barang jadi—yang dibeli dari pemasok. Misalnya:
Data persediaan UD. JAK (pedagang eceran beras) untuk tahun 2012 adalah sbb:
Saldo awal persediaan = Rp 5,000,000
Pembelian beras dari 1 Januari s/d 31 Desember 2012 = Rp 85,000,000
Saldo Akhir Persediaan per 31 Desember 2012 = Rp 3,000,000
Harga Pokok Penjualan 2012 = 5,000,000 + 85,000,000 – 3,000,000
Harga Pokok Penjualan 2012 = 87,000,000
Itu
perhitungan harga pokok penjualan beras pada perusahan dagang beras.
Perhitungan menjadi agak rumit untuk perusahan manufaktur—yang barang
persediaannya dibuat sendiri (baik itu sebagian atau keseluruhan).
Bagaimana menghitung harga pokok penjualan perusahaan manufaktur?
Yuk kita pindah ke paragraph berikutnya…
Alur Perhitungan Harga Pokok Penjualan Perusahaan Manufaktur
Menghitung harga pokok penjualan untuk perusahaan manufaktur menjadi sedikit lebih rumit, jika dibandingkan dengan perusahaan dagang, karena adanya “persediaan bahan baku” (raw materials) yang diolah menjadi “persediaan barang dalam proses” (work in process—biasanya disingkat WIP), lalu barang jadi (finished goods—biasa disingkat FG).
Proses pengolahan dari bahan baku menjadi barang dalam proses lalu barang jadi menimbulkan cost-cost lain, diantaranya: “biaya tenaga kerja langsung” (labor cost) dan “overhead produksi” (production overhead).
Secara garis besar alur proses produksi adalah sbb:
Bahan Baku (raw materials) dikeluarkan dari gudang ==> Bahan baku diolah menjadi barang dalam proses (work in process) ==> Barang dalam proses diolah lagi menjadi barang jadi (finished goods).
Nah,
perhitungan harga pokok penjualan mengikuti alur produksi di atas.
Berikut adalah bagan alur perhitungan yang saya buat sedemikian rupa
sehingga menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami:
Penjelasan:
Dari
bagan di atas jelas terlihat bahwa, alur penghitungan “Harga Pokok
Penjualan” perusahaan manufaktur melalui 4 tahapan, mengikuti alur
produksi, yang terdiri dari:
- Tahap-1. Perhitungan “Bahan Baku Yang Digunakan”
- Tahap-2. Perhitungan “Total Biaya Produksi”
- Tahap-3. Perhitungan “Harga Pokok Produksi”
- Tahap-4. Pergitungan “Harga Pokok Penjualan”
Berikut adalah penjelasan lebih rincinya:
Tahap-1. Perhitungan BAHAN BAKU YANG DIGUNAKAN:
Saldo Awal Persediaan Bahan Baku
– Yang dimaksud dengan “saldo awal persediaan bahan baku” adalah total
nilai persediaan bahan baku di awal periode yang dihitung (awal bulan
untuk bulanan dan awal tahun untuk tahunan). Saldo awal periode yang
dihitung sama dengan saldo akhir periode sebelumnya yang secara global
bisa dilihat di Neraca, sedangkan per jenis bahan baku bisa dilihat di
buku persediaan (inventory ledger) dan kartu stock. Cakupan “bahan baku”
dalam hal ini termasuk: bahan penolong/pembantu/apapun namanya.
Pembelian Bahan Baku
– Yang dimaksud dengan “pembelian bahan baku” dalam hal ini adalah
total pembelian bahan baku (termasuk bahan penolong) NETO selama periode
yang dihitung. Misalnya: “Perhitungan HPP untuk bulan Juni 2012”,
berarti total pembelian bahan baku dari 1 s/d 30 Juni 2012. Jika
“Perhitungan HPP untuk Tahun 2012”, berarti total pembelian bahan baku
dari 1 Januari s/d 31 Desember 2012. Bisa dilihat di buku besar
persediaan. Dan “NETO” dalam hal ini artinya: sudah memperhitungkan
pengurangan dan penambahan akibat adanya discount, rabat, dan retur.
Saldo Akhir Persediaan Bahan Baku
– Yang dimaksud dengan “saldo akhir persediaan bahan baku” adalah total
nilai persediaan bahan baku (yang tersisa) pada akhir periode yang
dihitung—setelah dilakukan penghitungan fisik dan
penyesuaian-penyesuaian.
Bahan Baku yang Digunakan
– Yang dimaksud dengan “bahan baku yang digunakan” dalam hal ini adalah
total bahan baku yang diolah (diproduksi) untuk menghasilkan produk
yang diinginkan. Angka ini (Rp 67,000 dalam contoh) diperoleh dengan
menggunakan formula perhitungan seperti yang terlihat pada bagan: saldo
awal persediaan bahan baku + pembelian bahan baku – saldo akhir
persediaan bahan.
Tahap-2. Perhitungan TOTAL BIAYA PRODUKSI
Bahan Baku yang Digunakan – Ini pindahan dari perhitungan tahap-1
Biaya Tenaga Kerja Langsung
– Yang dimaksud dengan “biaya tenaga kerja langsung” adalah total upah
karyawan/buruh yang pekerjaannya berimplikasi langsung terhadap volume
output produk yang dihasilkan. Angkanya bisa dilihat dari daftar
pembayaran gaji untuk karyawan yang masuk dalam kelompok “tenaga kerja
langsung”. Yang masuk dalam kelompok tenaga kerja langsung adalah
pegawai yang dibayar berdasarkan jumlah jam kerja (yang ada rate per
jamnya) atau berdasarkan volume pekejaan yang diselesaikan (biasa
disebut borongan). Sedangkan pegawai bagian produksi di luar kriteria
itu, tidak ikut dihitung.
Overhead Produksi
– Overhead ini sering menjadi sumber kebingungan dan simpang-siur.
Begini saja, yang dimaksud dengan “overhead produksi” adalah segala
biaya yang berhubungan dengan aktivitas produksi SELAIN bahan baku dan
biaya tenaga kerja langsung (lihat bahan penjelasan mengenai bahan baku
di tahap-1). Termasuk dalam kelompok ini adalah biaya yang timbul dari
aktivitas packaging, pengiriman barang, biaya pemeliharaan mesin dan
peralatan, biaya pemeliharaan gedung pabrik dan gudang, penyusutan mesin
dan peralatan, penyusutan gedung pabrik dan gudang.
Total Biaya Produksi
– Yang dimaksud dengan “total biaya produksi” dalam hal ini adalah
semua biaya yang timbul akibat aktivitas produksi yang berlangsung
selama periode yang dihitung—termasuk bahan baku yang digunakan (itu
sebabnya mengapa “biaya bahan baku yang digunakan” dari perhitungan
tahap-1 diikutsertakan) ditambah biaya tenaga kerja langsung dan
overhead produksi.
Note: Sampai pada tahap ini, perhitungan telah mencerminkan segala biaya/cost yang timbul dari aktivitas produksi selama periode yang dihitung, TETAPI belum mengikutsertakan penggunaan “persediaan barang dalam proses” yang merupakan SISA (saldo akhir) periode sebelumnya. Itu sebabnya mengapa hasil perhitungan sampai pada tahap-2 ini disebut “Biaya produksi” saja—BELUM disebut Harga Pokok Produksi. Lanjut ke tahap-3…
Tahap-3. Perhitungan HARGA POKOK PRODUKSI
Total Biaya Produksi – Ini pindahan dari perhitungan tahap-2 (baca note di tahap-1)
Saldo Awal Persediaan Barang Dalam Proses
– Yang dimaksud dengan “saldo awal persediaan barang dalam proses”
adalah total nilai persediaan barang dalam proses di awal periode yang
dihitung. Saldo awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir
periode sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan
rincian per item/jenis barang bisa dilihat di buku persediaan (inventory
ledger) persediaan barang dalam proses.
Saldo Akhir Persediaan Barang Dalam Proses
– Yang dimaksud dengan “saldo akhir persediaan barang dalam proses”
adalah total nilai persediaan barang dalam proses (yang tersisa) pada
akhir periode yang dihitung—setelah dilakukan penghitungan fisik dan
penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan.
Harga Pokok Produksi
– Yang dimaksud denga “harga pokok produksi” adalah segala biaya/cost
yang timbul dari aktivitas produksi pada masa yang dihitung (itu
sebabnya mengapa total biaya produksi dari hasil perhitungan tahap-2
diikutsertakan) ditambah dengan saldo awal persediaan barang dalam
proses, lalu dikurangi saldo akhirnya.
Note: Ketiga tahap (dari tahap-1 s/d tahap-3) ini sudah mewakili semua biaya/cost yang timbul dari aktivitas suatu proses manufaktur (pabrikan). Dengan kata lain, mencerminkan semua biaya/cost yang timbul akibat proses pengolahan dari bahan baku menjadi barang yang siap untuk dijual. Kasarannya, angka ini mewakili nilai persediaan barang jadi yang berhasil dibuat selama periode yang dihitung. TETAPI belum mengikutsertakan penggunaan persediaan barang jadi SISA dari periode sebelumnya. Itu sebabnya mengapa hasil perhitungan sampai tahap-3 ini disebut “Harga Pokok Produksi” saja—BELUM disebut Harga Pokok Penjualan. (Untuk menentukan HARGA POKOK PRODUKSI SATUAN, perhitungan dibuat ditahap ini dengan cara membagi total nilai harga pokok produksi dengan jumlah output produk yang dihasilkan selama periode tersebut, dibuat per jenis/item produk.)
Tahap-4. Pergitungan HARGA POKOK PENJUALAN (HPP)
Harga Pokok Produksi – Ini pindahan dari perhitungan tahap-3 (baca note di tahap-3)
Saldo Awal Persediaan Barang Jadi
– Yang dimaksud dengan “saldo awal persediaan barang jadi” adalah total
nilai persediaa barang jadi di awal periode yang dihitung. Saldo awal
periode yang dihitung sama dengan saldo akhir periode sebelumnya yang
secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan rincian per jenis/item
barang bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger) barang jadi
dan kartu stock.
Barang Tersedia Untuk Dijual
– Yang dimaksud dengan “barang tersedia untuk dijual” adalah total
nilai persediaan barang jadi—yaitu: barang jadi yang dihasilkan selama
periode yang dihitung ditambah dengan saldo awal persediaan barang jadi
(alias sisa barang jadi dari periode sebelumnya)—yang tersedia atau siap
untuk dijual.
Saldo Akhir Persediaan Barang Jadi
– Yang dimaksud dengan “saldo akhir barang jadi” adalah nilai
persediaan barang jadi (yang tersisa) di akhir periode yang
dihitung—tentunya setelah melalui penghitungan fisik dan rekonsiliasi
(antara fisik barang dan catatan), serta adjustments yang diperlukan
telah dimasukan.
Harga Pokok Penjualan (HPP)
– Inilah hasil (angka) yang diperoleh diujung alur proses—setelah
melalui empat tahap penghitungan—untuk menentukan harga pokok penjualan
perusahaan manufaktur.
Tentu ini bukan panduan yang
komprehensif, tetapi saya berharap ini bisa menjadi panduan awal yang
bisa membantu pembaca untuk memahami alur penghitungan harga pokok
penjualan (HPP) dengan lebih mudah. Untuk panduan yang lebih
komprehensif silahkan baca kembali buku-buku akuntansi manajemen dan akuntansi biaya

0 komentar:
Posting Komentar